Pertemuan EMAS

 

Umuntu ngumuntu ngabantu” ; terlontar pelan dari bibir tebal milik lelaki empat puluh tiga tahun, Khairuddin. Kalimat yang tertera di tengah-tengah gelang yang tersimpan di bawah bingkai foto di ruang kerja miliknya. Spontan dia mencabutnya, meraba tulisan timbul itu sambil menghela nafas panjang. Benda kecil yang  mengingatkan kembali sekelimat kehidupannya waktu di benua hitam beberapa tahun lalu. Empat foto dengan bingkai kayu polos sengaja dia susun berjejer tepat di bawah jam dindingnya. Diperhatikannya dengan seksama mulai dari kiri foto pertama, Khairuddin kecil dengan muka polosnya berdiri dengan paras malu-malu di bawah  tiang bendera pesantren sebagai lulusan santri terbaik di pondok pesantren Al-Ikhlas, Watampone. Foto kedua pose tegap dengan badan cekingnya berpoto dengan salah satu  guru besar pesantren Al-Ashar ketika menghadiri pertukaran pelajar di Mesir, foto ketiga Khairuddin memegang toganya dengan senyum lebar saat menerima gelar doktor Ilmu tafsir di Universitas Al- Qarawiyyin, Maroko dan foto terakhir bersama istri dan dua anaknya di taman baca pesantren miliknya, Al-Muhajirin, Makassar. Pukul 4:30 pagi, mata sepet itu berhasil dia buka setelah hanya tidur beberapa jam sejak pukul satu dini hari. Malam itu teramat berat dihabiskan dengan diskusi berat sekaligus reunian dengan rekan sebayanya yang berkebangsaan Afrika. Khairuddin adalah seorang dosen di Universitas Islam Negeri Alauddin,Makassar. Disamping itu,  Dia juga memberikan kuliah di kampungnya STAIN,Watampone. Jam terbangnya cukup padat, aktif sebagai pembicara di seminar-seminar Islam baik nasional maupun international. Kemampuan bahasanya juga sangat mengagumkan, skill komunikasi yang ia miliki,sosok yang bersahaja membuat banyak mahasiswa yang mengejar Khairuddin untuk menjadi dosen pembimbing skripsi mereka. Selain bahasa Indonesia, juga fasih berbahasa Arab, Inggris, Perancis dan Swahili. Sekarang, Dia berdomisili di Makassar bersama dengan keluarga kecilnya. Istrinya adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam sementara kedua anaknya, Adibah (15 tahun) dan Husain (12 tahun) adalah santri di pondok pesantren Darussalam Gontor.

Hari Minggu sudah menjadi rutinitas Khairuddin di sela-sela jam terbangnya yang sangat padat .Setiap selesai menunaikan shalat subuh, dia pasti menyempatkan untuk jogging di sekitaran taman bunga rumah dinas gubernur dekat dengan pondok pesantren miliknya.

 

Tak..tak..tak… bunyi hentakan keras membuyarkan lamunannya,memecah keheningan di ruang berukuran 4×6 meter itu. Dia membalik kursinya mengarah tepat ke lapangan basket santri laki-laki. Satu kap kopi panas yang sudah diteguk habis yang dibeli di took kelontong tadi membuatnya melek hingga jelas melihat satu sosok santri laki-laki yang tengah melempar bola basket ke dalam ring dengan kecepatan tinggi dibalik kaca jendela kantornya.

Satu…dua…tiga kali berturut-turut masuk ke ring. Gumamnya dalam hati seolah melihat Little Jordan pagi itu. Santri dengan postur tubuh yang tinggi, alis tebal, mata sayu dengan rahang dagu yang tajam, sarung kotak-kotak hijau yang sengaja dilingkarkan di pundak dengan sepatu kets Nike seri air max yang terlihat kebesaran di kakinya.

Tanpa berlama-lama, Khairuddin pun berbalik mengambil langkah menuju ke lapangan. Suasana pesantren masih sepi, sebagian besar santri masih di kamar asrama. Hanya terlihat penjaga pondok, Pak Mukmin yang tengah menyapu daun-daun mati di depan perpustakaan. Burung-burung merpati berbaris rapi di atas bentangan kabel listrik pondok seperti atlit gymnastic yang anggun yang siap mempersembahkan kelihainnya di tiang. Lantunan surah Al-Waqi’ah terdengar samar-samar dari mushola pondok. Daun palem yang tumbuh subur masih berayun manja bermain dengan sisa-sisa embun di atasnya.

 

“ Bisa jadi atlit basket terkenal kamu,Nak” sapa Khairuddin

Bocah itu berbalik membiarkan bola basketnya menggelinding di pojok lapangan ke arah sosok yang bertubuh tinggi dengan suara yang dalam dengan pembawaan yang wibawa.

“ Hehe…bapak bisa aja”, jawabnya malu-malu

“ Siapa namamu?” tanya Khairuddin dalam bahasas Arab sambil memungut daun kuning yang diinjaknya

“ Farid Pak” sahutnya dengan lantang

hmm..Farid..Sudah berapa lama jadi santri?”

“ Besok, inshaAllah genap 2 tahun”

“ Pagi-pagi sudah olahraga saja… sejak kapan suka basket?”

“ Iya,dari kecil sudah suka main basket Pak. Ini hanya latihan, latihan sambil menghafal surah. Dribbel yang saya lakukan saya iramakan dengan hafalan saya. Kebetulan 5 hari lagi ada lomba ceramah dan pidato bahasa Arab se-Asia tenggara di Malaysia dan Alhamdulillah saya ditunjuk untuk mewakili Indonesia Pak.”

“ Wah selamat! Bapak beruntung memiliki santri seperti kamu. Sesuai nama kamu, Farid berarti yang Istimewa” pujinya tanpa ragu

“ Terimakasih Pak..doakan  ya…jangan khwatir saya yakin saya akan menang,lihat saja nanti”

Khairuddin sesaat Diam, kemuDian berkata “Apa yang membuat Farid berpikir bisa menang? Sementara Farid sendiri hanyalah seorang santri dari pondok  pesantren yang biasa-biasa saja.”

“ Tawakal dan kekuatan pikiran Pak. Pikiran melahirkan kenyataan, dan saya bertanggung jawab atas pikiran saya. Imam Ali Ibn Abi Thalib pernah mengatakan ‘Tuhan, apa yang tidak Kau beri kepada orang yang telah Kauberi akal?Apa yang Kau beri pada orang yang tidak Kau beri akal?’….. hmm..aku bercita-cita ingin seperti beliau.” ketus bocah 15 tahun itu

Khairuddin menganggukkan kepalanya. Ia tiba-tiba saja menaruh simpati dan kekaguman pada bocah yang baru saja disapanya. Ia mengangumi kekuatan dan ambisi yang besar dalam diri Farid. Pembicaraan itu berlangsung cukup lama sampai terik matahari menyurutkan obrolan mereka.Dari situ Khairuddin mulai akrab dan banyak tahu tentang santrinya ini. Mulai dari kegemarannya, keluarga, sampai  dengan disleksia Farid yang persis Khairuddin alami sewaktu kecil. Khairuddin seakan melihat dirinya sewaktu kecil dalam diri Farid. Berasal dari keluarga sederhana, tinggal di kampung, dibesarkan oleh tante, bedanya hanya asal keluarga, Farid berasal dari Aceh.

 

Farid tidak pernah merasa sedekat ini dengan lelaki yang ia baru kenal. Dia tahu jika Pak Khairuddin adalah pemilik dari pondok pesantren tempat ia belajar. Akan tetapi baru kali ini Ia bertatap muka langsung dan berbicara panjang lebar. Seakan tak ingin obrolan mereka berhenti, Farid mengambil giliran mengangkat topik pembicaraan ke Khairuddin.

Tanpa ragu sedikitpun,Farid berkata “ Saya beruntung masuk pesantren ini. Awalnya saya pikir, menjadi seorang santri bagai hidup di balik jeruji besi. Tidak ada ruang untuk berekespresi. Hidup monoton ,ngaji,hafal surah, shalat,dzikir, tidur,makan. Masuk di pondok terus terang awalnya berat bagi saya Pak. Almarhum Abi saya meninggal di dalam musholla pondok tempat Dia mengajar di Aceh. Untunglah saya dapat guru-guru yang hebat, sabar, dan teman-teman yang luar biasa. Semua pondok pesantren saya pikir sama saja. Tergantung dari santri yang menjalaninya saja. Kalau tadi Bapak pikir pondok ini biasa-biasa saja, nanti Farid yang buat tidak biasa yah ” nyegir dengan lagak bak jagoan

Khairuddin maju selangkah mendekati Farid dengan memberinya senyum lebar

“ Farid, kamu pakai ini.” tegur Khairuddin sembari mengeluarkan benda kecil dari kantong celananya

“ Gelang?” sahutnya heran

“ Iya, gelang ini mungkin kelihatan usang, ini spesial buat kamu. Waktu kuliah di Afrika dulu,teman sekamar Bapak memberikan gelang ini. Dia orang Afrika asli, muallaf. Jika berkenan, ulurkan tanganmu biar Bapak ikatkan”

“ Bahasanya aneh Pak, u..muntu..ngu..muntu..nga…bantu” Farid menggaruk-garuk kepalanya tanpa dia sadari peci yang Ia gunakan miring menutupi alisnya

“ Haha…bukan pembantu ya.. itu idiom Farid. Umuntu ngumuntu ngabantu. Kalau dalam bahasa Inggris artinya a person is a person because of people. Bahasa sederhannaya, orang bisa jadi orang karena dari orang lain. Intinya seperti itu”

“ Wah.. terima kasih Pak yah…kirain itu mantra hehe..sekali lagi terima kasih Pak” Ia tiba-tiba tersenyum, meski agak kecut

 

Seminggu kemudian,

 

Hiru pikuk penumpang, supir taxi, porter, petugas bandara di pagi hari sudah menjadi aktivitas yang familiar bagi Khairuddin. Dia bergegas ke gate nomor dua penerbangan internasional untuk menghadiri undangan Annual Islamic Conference & Youth Dialogue di Turki . Khairuddin senang dengan kegiatan seperti itu. Acara yang digelar tiap tahun itu membantu Khairuddin mempromosikan santri-santri dari pondoknya dan santri se-Indonesia pada umumnya. Skil negosiasi yang ia miliki juga tidak diragukan lagi. Buktinya dia banyak meloloskan santri-santri Indonesia di Universitas Al-Ashar dengan jalur beasiswa, mendatangkan guru-guru besar universitas Islam ke Indonesia, sampai dengan bantuan dana untuk pembangunan pondok pesantren.

 

Jarum jam menunjukkan 7:05 pagi. Boarding pass dia sematkan di tengah-tengah pasport miliknya. Empat puluh lima menit lagi pikirnya. Masih ada waktu untuk meneguk segelas kopi dan sepotong roti lapis tuna buatan istrinya. Dikeluarkan ponsel android dari saku kemejanya dan mulai berselancar di portal berita favoritnya. Belum habis roti yang Ia makan, tiba-tiba pupilnya melebar dari biasanya, nafasnya terhenti seketika melihat satu sosok bocah yang sepertinya Ia kenal. Spontan pince-nez-nya (kaca mata tak bergagang yang dijepitkan di pangkal hidung) dipasang dengan baik-baik. Gelang yang dilihat Khairuddin yang melingkar di tangan kanan bocah menambah keyakinan Khairuddin bahwa figur yang di dalam berita itu adalah Farid. Darahnya seakan membeku, tangannya gemetar, mukanya berubah pucat, kakinya melemas duduk terkulai di sofa ruang tunggu gate. Seolah dia merasa terputus dari kenyataan. Jauh di dalam dirinya, Khairuddin mulai berteriak dan tak percaya.Dia bisa mendengar langkah penumpang lain yang berlalu di depannya, mendengar jelas suara wanita yang mengumumukan bahwa keberangkatan ke Abu Dhabi sebentar lagi dari speaker yang tepat di atas kepalanya. Tetapi semuanya rasanya begitu jauh darinya. Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah.. gumamnya dalam hati. Khairuddin mencoba menenangkan perasaanya. Tapi tungkai-tungkai yang syok tak mau bergerak dan rasanya ada satu buah jeruk yang mengganjal tenggorokannya.

Seolah tidak percaya, kembali Khairuddin menolehkan pandangannya ke telpon genggammnya. Dengan sekuat tenaga, perlahan-lahan dia segera mengambil langkah cepat seakan seekor kambing yang terbirit-birit terkena air hujan. Dia terus berlari, pikirannya masih jelas menghafal judul headline news yang dibacanya tadi  sampai Ia tak sadari telah berada di luar pintu keberangkatan. Dengan cekatan mengacungkan tangan ke salah satu taksi yang mengantri rapi di depannya. Headline itu masih merampas pikiran Khairuddin, masih jelas, masih terang;

FARID NAJIBULLAH, AN ARABIC SPEECH CHAMPION FOUND DEAD AFTER PLANE CRASH ROUTE KUALA LUMPUR- MAKASSAR