Pertemuan EMAS

 

Umuntu ngumuntu ngabantu” ; terlontar pelan dari bibir tebal milik lelaki empat puluh tiga tahun, Khairuddin. Kalimat yang tertera di tengah-tengah gelang yang tersimpan di bawah bingkai foto di ruang kerja miliknya. Spontan dia mencabutnya, meraba tulisan timbul itu sambil menghela nafas panjang. Benda kecil yang  mengingatkan kembali sekelimat kehidupannya waktu di benua hitam beberapa tahun lalu. Empat foto dengan bingkai kayu polos sengaja dia susun berjejer tepat di bawah jam dindingnya. Diperhatikannya dengan seksama mulai dari kiri foto pertama, Khairuddin kecil dengan muka polosnya berdiri dengan paras malu-malu di bawah  tiang bendera pesantren sebagai lulusan santri terbaik di pondok pesantren Al-Ikhlas, Watampone. Foto kedua pose tegap dengan badan cekingnya berpoto dengan salah satu  guru besar pesantren Al-Ashar ketika menghadiri pertukaran pelajar di Mesir, foto ketiga Khairuddin memegang toganya dengan senyum lebar saat menerima gelar doktor Ilmu tafsir di Universitas Al- Qarawiyyin, Maroko dan foto terakhir bersama istri dan dua anaknya di taman baca pesantren miliknya, Al-Muhajirin, Makassar. Pukul 4:30 pagi, mata sepet itu berhasil dia buka setelah hanya tidur beberapa jam sejak pukul satu dini hari. Malam itu teramat berat dihabiskan dengan diskusi berat sekaligus reunian dengan rekan sebayanya yang berkebangsaan Afrika. Khairuddin adalah seorang dosen di Universitas Islam Negeri Alauddin,Makassar. Disamping itu,  Dia juga memberikan kuliah di kampungnya STAIN,Watampone. Jam terbangnya cukup padat, aktif sebagai pembicara di seminar-seminar Islam baik nasional maupun international. Kemampuan bahasanya juga sangat mengagumkan, skill komunikasi yang ia miliki,sosok yang bersahaja membuat banyak mahasiswa yang mengejar Khairuddin untuk menjadi dosen pembimbing skripsi mereka. Selain bahasa Indonesia, juga fasih berbahasa Arab, Inggris, Perancis dan Swahili. Sekarang, Dia berdomisili di Makassar bersama dengan keluarga kecilnya. Istrinya adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam sementara kedua anaknya, Adibah (15 tahun) dan Husain (12 tahun) adalah santri di pondok pesantren Darussalam Gontor.

Hari Minggu sudah menjadi rutinitas Khairuddin di sela-sela jam terbangnya yang sangat padat .Setiap selesai menunaikan shalat subuh, dia pasti menyempatkan untuk jogging di sekitaran taman bunga rumah dinas gubernur dekat dengan pondok pesantren miliknya.

 

Tak..tak..tak… bunyi hentakan keras membuyarkan lamunannya,memecah keheningan di ruang berukuran 4×6 meter itu. Dia membalik kursinya mengarah tepat ke lapangan basket santri laki-laki. Satu kap kopi panas yang sudah diteguk habis yang dibeli di took kelontong tadi membuatnya melek hingga jelas melihat satu sosok santri laki-laki yang tengah melempar bola basket ke dalam ring dengan kecepatan tinggi dibalik kaca jendela kantornya.

Satu…dua…tiga kali berturut-turut masuk ke ring. Gumamnya dalam hati seolah melihat Little Jordan pagi itu. Santri dengan postur tubuh yang tinggi, alis tebal, mata sayu dengan rahang dagu yang tajam, sarung kotak-kotak hijau yang sengaja dilingkarkan di pundak dengan sepatu kets Nike seri air max yang terlihat kebesaran di kakinya.

Tanpa berlama-lama, Khairuddin pun berbalik mengambil langkah menuju ke lapangan. Suasana pesantren masih sepi, sebagian besar santri masih di kamar asrama. Hanya terlihat penjaga pondok, Pak Mukmin yang tengah menyapu daun-daun mati di depan perpustakaan. Burung-burung merpati berbaris rapi di atas bentangan kabel listrik pondok seperti atlit gymnastic yang anggun yang siap mempersembahkan kelihainnya di tiang. Lantunan surah Al-Waqi’ah terdengar samar-samar dari mushola pondok. Daun palem yang tumbuh subur masih berayun manja bermain dengan sisa-sisa embun di atasnya.

 

“ Bisa jadi atlit basket terkenal kamu,Nak” sapa Khairuddin

Bocah itu berbalik membiarkan bola basketnya menggelinding di pojok lapangan ke arah sosok yang bertubuh tinggi dengan suara yang dalam dengan pembawaan yang wibawa.

“ Hehe…bapak bisa aja”, jawabnya malu-malu

“ Siapa namamu?” tanya Khairuddin dalam bahasas Arab sambil memungut daun kuning yang diinjaknya

“ Farid Pak” sahutnya dengan lantang

hmm..Farid..Sudah berapa lama jadi santri?”

“ Besok, inshaAllah genap 2 tahun”

“ Pagi-pagi sudah olahraga saja… sejak kapan suka basket?”

“ Iya,dari kecil sudah suka main basket Pak. Ini hanya latihan, latihan sambil menghafal surah. Dribbel yang saya lakukan saya iramakan dengan hafalan saya. Kebetulan 5 hari lagi ada lomba ceramah dan pidato bahasa Arab se-Asia tenggara di Malaysia dan Alhamdulillah saya ditunjuk untuk mewakili Indonesia Pak.”

“ Wah selamat! Bapak beruntung memiliki santri seperti kamu. Sesuai nama kamu, Farid berarti yang Istimewa” pujinya tanpa ragu

“ Terimakasih Pak..doakan  ya…jangan khwatir saya yakin saya akan menang,lihat saja nanti”

Khairuddin sesaat Diam, kemuDian berkata “Apa yang membuat Farid berpikir bisa menang? Sementara Farid sendiri hanyalah seorang santri dari pondok  pesantren yang biasa-biasa saja.”

“ Tawakal dan kekuatan pikiran Pak. Pikiran melahirkan kenyataan, dan saya bertanggung jawab atas pikiran saya. Imam Ali Ibn Abi Thalib pernah mengatakan ‘Tuhan, apa yang tidak Kau beri kepada orang yang telah Kauberi akal?Apa yang Kau beri pada orang yang tidak Kau beri akal?’….. hmm..aku bercita-cita ingin seperti beliau.” ketus bocah 15 tahun itu

Khairuddin menganggukkan kepalanya. Ia tiba-tiba saja menaruh simpati dan kekaguman pada bocah yang baru saja disapanya. Ia mengangumi kekuatan dan ambisi yang besar dalam diri Farid. Pembicaraan itu berlangsung cukup lama sampai terik matahari menyurutkan obrolan mereka.Dari situ Khairuddin mulai akrab dan banyak tahu tentang santrinya ini. Mulai dari kegemarannya, keluarga, sampai  dengan disleksia Farid yang persis Khairuddin alami sewaktu kecil. Khairuddin seakan melihat dirinya sewaktu kecil dalam diri Farid. Berasal dari keluarga sederhana, tinggal di kampung, dibesarkan oleh tante, bedanya hanya asal keluarga, Farid berasal dari Aceh.

 

Farid tidak pernah merasa sedekat ini dengan lelaki yang ia baru kenal. Dia tahu jika Pak Khairuddin adalah pemilik dari pondok pesantren tempat ia belajar. Akan tetapi baru kali ini Ia bertatap muka langsung dan berbicara panjang lebar. Seakan tak ingin obrolan mereka berhenti, Farid mengambil giliran mengangkat topik pembicaraan ke Khairuddin.

Tanpa ragu sedikitpun,Farid berkata “ Saya beruntung masuk pesantren ini. Awalnya saya pikir, menjadi seorang santri bagai hidup di balik jeruji besi. Tidak ada ruang untuk berekespresi. Hidup monoton ,ngaji,hafal surah, shalat,dzikir, tidur,makan. Masuk di pondok terus terang awalnya berat bagi saya Pak. Almarhum Abi saya meninggal di dalam musholla pondok tempat Dia mengajar di Aceh. Untunglah saya dapat guru-guru yang hebat, sabar, dan teman-teman yang luar biasa. Semua pondok pesantren saya pikir sama saja. Tergantung dari santri yang menjalaninya saja. Kalau tadi Bapak pikir pondok ini biasa-biasa saja, nanti Farid yang buat tidak biasa yah ” nyegir dengan lagak bak jagoan

Khairuddin maju selangkah mendekati Farid dengan memberinya senyum lebar

“ Farid, kamu pakai ini.” tegur Khairuddin sembari mengeluarkan benda kecil dari kantong celananya

“ Gelang?” sahutnya heran

“ Iya, gelang ini mungkin kelihatan usang, ini spesial buat kamu. Waktu kuliah di Afrika dulu,teman sekamar Bapak memberikan gelang ini. Dia orang Afrika asli, muallaf. Jika berkenan, ulurkan tanganmu biar Bapak ikatkan”

“ Bahasanya aneh Pak, u..muntu..ngu..muntu..nga…bantu” Farid menggaruk-garuk kepalanya tanpa dia sadari peci yang Ia gunakan miring menutupi alisnya

“ Haha…bukan pembantu ya.. itu idiom Farid. Umuntu ngumuntu ngabantu. Kalau dalam bahasa Inggris artinya a person is a person because of people. Bahasa sederhannaya, orang bisa jadi orang karena dari orang lain. Intinya seperti itu”

“ Wah.. terima kasih Pak yah…kirain itu mantra hehe..sekali lagi terima kasih Pak” Ia tiba-tiba tersenyum, meski agak kecut

 

Seminggu kemudian,

 

Hiru pikuk penumpang, supir taxi, porter, petugas bandara di pagi hari sudah menjadi aktivitas yang familiar bagi Khairuddin. Dia bergegas ke gate nomor dua penerbangan internasional untuk menghadiri undangan Annual Islamic Conference & Youth Dialogue di Turki . Khairuddin senang dengan kegiatan seperti itu. Acara yang digelar tiap tahun itu membantu Khairuddin mempromosikan santri-santri dari pondoknya dan santri se-Indonesia pada umumnya. Skil negosiasi yang ia miliki juga tidak diragukan lagi. Buktinya dia banyak meloloskan santri-santri Indonesia di Universitas Al-Ashar dengan jalur beasiswa, mendatangkan guru-guru besar universitas Islam ke Indonesia, sampai dengan bantuan dana untuk pembangunan pondok pesantren.

 

Jarum jam menunjukkan 7:05 pagi. Boarding pass dia sematkan di tengah-tengah pasport miliknya. Empat puluh lima menit lagi pikirnya. Masih ada waktu untuk meneguk segelas kopi dan sepotong roti lapis tuna buatan istrinya. Dikeluarkan ponsel android dari saku kemejanya dan mulai berselancar di portal berita favoritnya. Belum habis roti yang Ia makan, tiba-tiba pupilnya melebar dari biasanya, nafasnya terhenti seketika melihat satu sosok bocah yang sepertinya Ia kenal. Spontan pince-nez-nya (kaca mata tak bergagang yang dijepitkan di pangkal hidung) dipasang dengan baik-baik. Gelang yang dilihat Khairuddin yang melingkar di tangan kanan bocah menambah keyakinan Khairuddin bahwa figur yang di dalam berita itu adalah Farid. Darahnya seakan membeku, tangannya gemetar, mukanya berubah pucat, kakinya melemas duduk terkulai di sofa ruang tunggu gate. Seolah dia merasa terputus dari kenyataan. Jauh di dalam dirinya, Khairuddin mulai berteriak dan tak percaya.Dia bisa mendengar langkah penumpang lain yang berlalu di depannya, mendengar jelas suara wanita yang mengumumukan bahwa keberangkatan ke Abu Dhabi sebentar lagi dari speaker yang tepat di atas kepalanya. Tetapi semuanya rasanya begitu jauh darinya. Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah.. gumamnya dalam hati. Khairuddin mencoba menenangkan perasaanya. Tapi tungkai-tungkai yang syok tak mau bergerak dan rasanya ada satu buah jeruk yang mengganjal tenggorokannya.

Seolah tidak percaya, kembali Khairuddin menolehkan pandangannya ke telpon genggammnya. Dengan sekuat tenaga, perlahan-lahan dia segera mengambil langkah cepat seakan seekor kambing yang terbirit-birit terkena air hujan. Dia terus berlari, pikirannya masih jelas menghafal judul headline news yang dibacanya tadi  sampai Ia tak sadari telah berada di luar pintu keberangkatan. Dengan cekatan mengacungkan tangan ke salah satu taksi yang mengantri rapi di depannya. Headline itu masih merampas pikiran Khairuddin, masih jelas, masih terang;

FARID NAJIBULLAH, AN ARABIC SPEECH CHAMPION FOUND DEAD AFTER PLANE CRASH ROUTE KUALA LUMPUR- MAKASSAR

Tamu Allah

Pohon yang dulunya ramah menghiasi tepi jalan kini terganti dengan serakahnya deretan bangunan. Sayup-sayup suara Adzan Mesjid sudah menggema dimana-mana. Ku kayuh sepeda ku dengan kencang menembus jalan yang kusut menuju suatu tempat. Sang surya pun tidak ketinggalan dengan angkuhnya menampar seluruh badan saya. Tampak dari ujung mataku menangkap beberapa lelaki muda mengawasiku dari kejauhan.

Jumat yang cerah itu saya putuskan untuk ke salah satu travel Umroh dan Haji yang berada di kota ku, kota Bone untuk mengambil brosur. Kebetulan salah seorang kerabat saya di rumah menyuruh saya untuk mencari info tentang paket umroh. Hanya dengan 7 menit saja, saya sudah tiba di tempat itu. Bergegas saya parkir sepeda saya disela-sela deretan motor dan masuk.

Hawa AC kantor travel ini sekejap menyapu keringat saya. Pegawainya, Nina langsung menyapa saya. Kami terbilang cukup akrab. Saya dan Nina teman satu SMP dulu.

“hai, Nin” sapaku dengan gesit

“hey… masuk-masuk. Tumben nongol, dari mana aja?” jawabnya sambil mengigit ujung pena di bibirnya.

“nggak dari mana-mana, nih mau ambil brosur,ada yang minta, sekalian ngadem bentar… Hehe”  balas ku seraya menuju ke salah satu etalase yang penuh dengan brosur Umroh dan haji.

Lagi asiknya baca dan duduk di kursi pengunjung, tiba-tiba handphone Nina berdering. Ternyata itu adalah telpon dari salah satu seorang calon jemaah yang mau daftar Umroh tapi karena tidak sempat ke travel,maka Ia menyuruh Nina untuk ke rumah calon jemaah itu buat jemput uangnya.

Karena satu dan lain hal, akhirnya saya ikut. Rumah calon jemaah ini terbilang cukup jauh dari kota,butuh sekitar 30 menit berkendara motor. Tiba di jalan utama tempat calon jemaah itu, ternyata masih ada beberapa lorong lagi yang harus disusuri.

Setibanya disana, sekejap saya menyeka keringat saya sebelum masuk ke rumah itu. Dari beranda rumah,terlihat seorang wanita tua yang sepertinya dari tadi menanti kedatangan kami. Rumahnya terbuat dari kayu,luasnya tidak lebih dari 4×10 meter. Untuk masuk ke rumahnya, kita harus nunduk,karena kalo nggak bisa-bisa kejedot. Lantainya dari tanah dan sebagian lagi dari semen,mau tidak mau harus mengenakan sandal.

Saya edarkan pandangan saya keseluruh ruangan. Di ruang tamu ada tiga kursi plastik yang sudah kusam warnanya ditambah satu tempat tidur bambu. Hanya ada 1 kamar tidur dan ukurannya pun sangat kecil. Dari pintu masuk, ruang dapur nampak jelas terlihat. Tempelan brosur dan poster Umroh-Haji hampir memenuhi dinding rumah Ibu ini.

Ibu Fatimah namanya. Ibu ini mempunyai satu anak laki-laki,umur 28 tahun bernama Ihsan dan sudah menikah. Ihsan sehari-hari berjualan barang campuran di pasar. Sebelum Ia lulus TK, ayahnya meninggal. Dulu, Ayahnya bekerja sebagai penjual sayur keliling.

Saya, ibu Fatimah dan Nina asyik berbincang-bincang di ruangan sederhana itu. Tiba-tiba saya menyela pembicaraan setelah melihat di atas lemari kayu yang usang ,ada tas kecil dari travel tempat Nina bekerja plus ID card yang biasanya dikenakan di leher para Jemaah haji.

“ siapa yang habis Haji bu?”

“ibu saya” , suara dari balik dapur menghampiri kami bertiga, Ihsan.

“jadi yang mendaftar sekarang siapa?”, balasku dengan rasa penasaran.

Ibu Fatimah pun menjawab “ yang daftar adalah Ihsan dan Istrinya, Nak!, Alhamdulillah, bulan April lalu, ibu sudah berangkat Haji”

“ohh begitu..wah hebat, jadi kak Ihsan dan istrinya berangkat bersamaan?”

“tidak bisa bersamaan. Yang berangkat duluan adalah Ihsan, Istrinya baru mulai mendaftar Nak. Kalau dua-duanya berangkat, jualan di pasar siapa yang jaga?” jawab Ibu dengan lembut

“Ihsan sudah mendaftar haji sejak 4 tahun yang lalu dan dia bakal berangkat tahun ini” Tambah Nina sambil menyeruput teh manis yang dibuat Ihsan.

Perbincangan kami pun semakin hangat seiring lontaran pertanyaan-pertanyaan saya yang tiada habisnya. Tidak lama kemudian, Nina mengambil satu map palstik hijau dari tasnya dan mengeluarkan formulir Umroh beserta kuitansinya. Begitu Ibu Fatimah memegang formulir itu, beliau langsung mengucap Alhamdulilah berulang kali dengan paras yang terlihat seakan-akan orang yang paling bahagia di dunia.

Setelah beberapa menit kemudian, saya dan Nina berpamitan.

“terimakasih banyak yah Nak sudah bela-belain kesini. Maaf Ibu tidak bisa ke tempatnya Nak Nina” sahut Ibu Fatimah dengan wajah sumringah

“Tidak apa-apa bu, lagian di kantor juga tidak terlalu sibuk. Itung-itung sekalian keluar makan siang” Balas Nina

“baik Ibu,kami pamit yah. Terima kasih jamuannya,Assalamu Alaikum” sahutku sambil menjabat tangan Ibu Fatimah

“iya nak. Sama-sama. Waalaikumsalam. Hati-hati”

 

Sepanjang perjalanan pulang pikiran saya terus dirasuki oleh ibu Fatimah dan keluarga kecilnya.Dalam hati ku bergumam, betapa salutnya saya karena dengan kondisi rumah yang seperti itu mereka masih tetap memilih ke tanah suci. Luar biasa, saat orang memilih menghabiskan uang untuk kehidupan dunia, mereka memilih investasi akhirat meskipun pasti banyak yang menganggap mereka “belum bahkan tidak pantas ke tanah Haram”. Buat mereka, menjadi tamu Allah jauh lebih berarti dari sekedar memiliki rumah yang bagus.

Subhanallah !” hatiku tertegun,bergetar dan pandanganku kosong menyisir ruas jalan yang ramai dari decitan angkutan umum.

Berawal dari amplop

Beberapa tahun yang lalu, ada satu keluarga yang pindah ke perumahan yang cukup popular di kota Bone. Dirwan adalah nama anak lelaki dari keluarga itu. Beralis tebal, kurus, bulu mata yang lentik, rahangnya kuat dan mata yang sayu. Ia akan masuk ke fakultas Hukum di salah satu Universitas swasta di kota itu. Ia juga keranjingan membaca sehingga menghabiskan sebagian besar waktu luangnya di perpustakaan kota.

Adalah seorang wanita sederhana, bersuara lembut dan murah senyum bernama Siska. Gadis yang kesehariannya sebagai petugas perpustakaan kota dan semua orang menyukainya. Dia sangat ramah terhadap semua pengunjung. Apabila ada pengunjung yang tidak mampu menemukan sebuah buku, ia akan menghentikan apa saja yang dikerjakannya.

Diam-diam Siska ternyata mengagumi Dirwan. Tiap kali Dirwan memasuki perpustakaan itu, kedua matanya bercahaya sampai mengamati Dirwan berjalan ke sana-kemari melewati tumpukan-tumpukan buku. Namun Siska tidak pernah memulai pembicaraan dengannya,begitu pula sebaliknya. Siska terbilang anak yang cukup pemalu.

Suatu ketika di petang hari, Siska bergegas menutup perpustakaan. Di saat dia membungkuk di salah satu meja, tiba-tiba ia menemukan sebuah amplop yang tergeletak di atas lantai. Dengan rasa penasaran, Ia pun memungut dan melihat amplop yang ternyata dikirimkan dari sebuah Universitas di kota itu.

“Tampaknya ini begitu penting, mungkin saja seseorang sedang mencari ini setengah matigumamnya dalam hati. Siska memandang sekilas alamat si penerima dan terkejut karena alamat itu adalah perumahan yang cukup dekat dari kediamannya.

Siska pun mematikan lampu,mengunci rapat perpustakaan dan bergegas pulang sembari membawa amplop tersebut. Setibanya di depan rumah yang tertera di amplop itu,ia pun segera menekan bel.

“Siapa ?” seru suara perempuan dari balik pintu.

“hmm.. saya Siska,.” Jawabnya

(pintu pun terbuka)

” Saya menemukan sepucuk surat di lantai perpustakaan dan kebetulan yang ditujukan untuk Dirwan Ramadhan. Ibu kenal dengan nama itu?” lanjut Siska.

“oh..iya..Dirwan Ramadhan itu adalah anakku.Dari tadi kami mencari surat itu. Jadi, suratnya terjatuh di perpustakaan?” seru Ibu itu sambil memandang Siska dari atas sampai bawah.

 

“ya Bu,” kata Siska. “Saya petugas perpustakaan,dan kebetulan saya tinggal satu blok dari perumahan Ibu,jadi saya pikir tidak ada salahnya untuk membawa surat ini”

“Ayo,masuk dulu,kita duduk-duduk sebentar sambil minum teh.” kata Ibu itu sambil tersenyum cerah

Sambil mengajak Siska ke kursi tamu, Ibu Dirwan berbicara tentang surat itu. “Kalau si Dirwan punya surat, pasti Ibu selalu simpan di meja dapur agar ia melihatnya kalau pulang. Kebetulan surat itu penting, jadi Ibu masukkan saja ke bukunya. “

Tiba-tiba saja pintu terbuka lebar dan masuklah anak lelakinya, Dirwan. Terkejut bukan main ketika melihat pria yang didepannya adalah pria muda yang dikaguminya selama ini. Jantung Siska berdenyut lebih cepat dari biasanya,bibirnya tiba-tiba kaku dan matanya tak berkedip. Ibu Dirwan pun dengan semangat menjelaskan kepada anaknya apa yang terjadi dengan surat itu.

Dirwan memandang Siska dengan kagum.

“Hahhhh! Yang dari perpustakaan itu kan?, Terima kasih yah..Nona e….,”

“Siska”.ketus Siska dengan lantang. Jantungnya masih berdegup-degup dan merasa yakin bahwa pipinya pun memerah.

Perkenalan pun berlanjut, Ibu Dirwan berjalan kesana-kemari mempersiapkan teh dan kue-kue.

Dan tiba-tiba saja Dirwan berkata, “bagaimana kalau Sabtu malam ini saya ajak makan malam di luar,hmm itung-itung terima kasih..Mau nggak?”

Sebelum Siska menenangkan nafasnya, Ibu Dirwan menyela “Sudah, bilang IYA saja ..”

Siska pun tertawa “Ya, dengan senang hati”

—-

Keakraban pun berlanjut sampai keduanya menjalin hubungan rumah tangga. Tepat setahun usia pernikahannya, Dirwan menceritakan kepada Siska,istrinya tentang dibalik cerita awal mereka bertemu.Mereka duduk bersama di anak tangga beranda menikmati secangkir teh hangat di malam hari.

Dengan lantang Dirwan berkata “khhmm… Jadi begini,dulu itu saya bukannya keranjingan membaca. Saya cuma pengen melihat kamu di perpus itu. Yah, karena malu dan tidak tahu bagaimana cara mendekati kamu, makanya saya beritahu Ibu tentang kamu. Ibulah yang akhirnya merancang skenario itu. Setiap ke perpus,pasti saya menjatuhkan amplop. Tapi ada saja orang lain yang memungutnya dan meneriaki malah mengejar saya mengembalikan amplop itu. Sampai pada akhirnya,saya yakinkan hanya tinggal kamu yang berada di dalam perpus dan menjatuhkan amplop itu dengan sengaja, dan tedennggg ternyata berhasil. ”

Sementara Dirwan menyampaikan kisah konyol nya itu, Siska pun tertawa histeris dan berkata

“Dirwan sayaaang, asal tahu aja yah, amplop yang kamu jatuhkan itu tidak terLEM dengan baik. Saya membukanya sebelum mengantarnya ke rumah kamu waktu itu. Dan tidak ada apa-apa di dalam surat itu kecuali kertas kosong. Saya menebak setengah mati apa yang akan saya lakukan,jadi yah kuikuti sajalah permainan itu. Kamu nggak sadar yah, kamu itu aktor yang buruk ” Siska memalingkan matanya yang berkedip-kedip sambil menyentil hidung suaminya.

Suasana pun pecah dengan suara tawa yang keras. Mereka berpelukan sambil memandang awan malam yang menabrak lembut sang rembulan.