Pohon yang dulunya ramah menghiasi tepi jalan kini terganti dengan serakahnya deretan bangunan. Sayup-sayup suara Adzan Mesjid sudah menggema dimana-mana. Ku kayuh sepeda ku dengan kencang menembus jalan yang kusut menuju suatu tempat. Sang surya pun tidak ketinggalan dengan angkuhnya menampar seluruh badan saya. Tampak dari ujung mataku menangkap beberapa lelaki muda mengawasiku dari kejauhan.
Jumat yang cerah itu saya putuskan untuk ke salah satu travel Umroh dan Haji yang berada di kota ku, kota Bone untuk mengambil brosur. Kebetulan salah seorang kerabat saya di rumah menyuruh saya untuk mencari info tentang paket umroh. Hanya dengan 7 menit saja, saya sudah tiba di tempat itu. Bergegas saya parkir sepeda saya disela-sela deretan motor dan masuk.
Hawa AC kantor travel ini sekejap menyapu keringat saya. Pegawainya, Nina langsung menyapa saya. Kami terbilang cukup akrab. Saya dan Nina teman satu SMP dulu.
“hai, Nin” sapaku dengan gesit
“hey… masuk-masuk. Tumben nongol, dari mana aja?” jawabnya sambil mengigit ujung pena di bibirnya.
“nggak dari mana-mana, nih mau ambil brosur,ada yang minta, sekalian ngadem bentar… Hehe” balas ku seraya menuju ke salah satu etalase yang penuh dengan brosur Umroh dan haji.
Lagi asiknya baca dan duduk di kursi pengunjung, tiba-tiba handphone Nina berdering. Ternyata itu adalah telpon dari salah satu seorang calon jemaah yang mau daftar Umroh tapi karena tidak sempat ke travel,maka Ia menyuruh Nina untuk ke rumah calon jemaah itu buat jemput uangnya.
Karena satu dan lain hal, akhirnya saya ikut. Rumah calon jemaah ini terbilang cukup jauh dari kota,butuh sekitar 30 menit berkendara motor. Tiba di jalan utama tempat calon jemaah itu, ternyata masih ada beberapa lorong lagi yang harus disusuri.
Setibanya disana, sekejap saya menyeka keringat saya sebelum masuk ke rumah itu. Dari beranda rumah,terlihat seorang wanita tua yang sepertinya dari tadi menanti kedatangan kami. Rumahnya terbuat dari kayu,luasnya tidak lebih dari 4×10 meter. Untuk masuk ke rumahnya, kita harus nunduk,karena kalo nggak bisa-bisa kejedot. Lantainya dari tanah dan sebagian lagi dari semen,mau tidak mau harus mengenakan sandal.
Saya edarkan pandangan saya keseluruh ruangan. Di ruang tamu ada tiga kursi plastik yang sudah kusam warnanya ditambah satu tempat tidur bambu. Hanya ada 1 kamar tidur dan ukurannya pun sangat kecil. Dari pintu masuk, ruang dapur nampak jelas terlihat. Tempelan brosur dan poster Umroh-Haji hampir memenuhi dinding rumah Ibu ini.
Ibu Fatimah namanya. Ibu ini mempunyai satu anak laki-laki,umur 28 tahun bernama Ihsan dan sudah menikah. Ihsan sehari-hari berjualan barang campuran di pasar. Sebelum Ia lulus TK, ayahnya meninggal. Dulu, Ayahnya bekerja sebagai penjual sayur keliling.
Saya, ibu Fatimah dan Nina asyik berbincang-bincang di ruangan sederhana itu. Tiba-tiba saya menyela pembicaraan setelah melihat di atas lemari kayu yang usang ,ada tas kecil dari travel tempat Nina bekerja plus ID card yang biasanya dikenakan di leher para Jemaah haji.
“ siapa yang habis Haji bu?”
“ibu saya” , suara dari balik dapur menghampiri kami bertiga, Ihsan.
“jadi yang mendaftar sekarang siapa?”, balasku dengan rasa penasaran.
Ibu Fatimah pun menjawab “ yang daftar adalah Ihsan dan Istrinya, Nak!, Alhamdulillah, bulan April lalu, ibu sudah berangkat Haji”
“ohh begitu..wah hebat, jadi kak Ihsan dan istrinya berangkat bersamaan?”
“tidak bisa bersamaan. Yang berangkat duluan adalah Ihsan, Istrinya baru mulai mendaftar Nak. Kalau dua-duanya berangkat, jualan di pasar siapa yang jaga?” jawab Ibu dengan lembut
“Ihsan sudah mendaftar haji sejak 4 tahun yang lalu dan dia bakal berangkat tahun ini” Tambah Nina sambil menyeruput teh manis yang dibuat Ihsan.
Perbincangan kami pun semakin hangat seiring lontaran pertanyaan-pertanyaan saya yang tiada habisnya. Tidak lama kemudian, Nina mengambil satu map palstik hijau dari tasnya dan mengeluarkan formulir Umroh beserta kuitansinya. Begitu Ibu Fatimah memegang formulir itu, beliau langsung mengucap Alhamdulilah berulang kali dengan paras yang terlihat seakan-akan orang yang paling bahagia di dunia.
Setelah beberapa menit kemudian, saya dan Nina berpamitan.
“terimakasih banyak yah Nak sudah bela-belain kesini. Maaf Ibu tidak bisa ke tempatnya Nak Nina” sahut Ibu Fatimah dengan wajah sumringah
“Tidak apa-apa bu, lagian di kantor juga tidak terlalu sibuk. Itung-itung sekalian keluar makan siang” Balas Nina
“baik Ibu,kami pamit yah. Terima kasih jamuannya,Assalamu Alaikum” sahutku sambil menjabat tangan Ibu Fatimah
“iya nak. Sama-sama. Waalaikumsalam. Hati-hati”
Sepanjang perjalanan pulang pikiran saya terus dirasuki oleh ibu Fatimah dan keluarga kecilnya.Dalam hati ku bergumam, betapa salutnya saya karena dengan kondisi rumah yang seperti itu mereka masih tetap memilih ke tanah suci. Luar biasa, saat orang memilih menghabiskan uang untuk kehidupan dunia, mereka memilih investasi akhirat meskipun pasti banyak yang menganggap mereka “belum bahkan tidak pantas ke tanah Haram”. Buat mereka, menjadi tamu Allah jauh lebih berarti dari sekedar memiliki rumah yang bagus.
Subhanallah !” hatiku tertegun,bergetar dan pandanganku kosong menyisir ruas jalan yang ramai dari decitan angkutan umum.