Gump fans, here!

“Run! Forrest! Run” tentu sudah sangat familiar dengan salah satu quote yang paling fenomenal di dunia ini, bukan? Yes, kalimat yang dilontarkan Jenny kecil ke Forrest ketika sekelompok anak yang bersepeda mengganggu Forrest di film Forrest Gump. Film ini pertama kali saya tonton di usia 17 tahun. Film yang sangat menghibur, lucu, sedih dan penuh dengan pesan moral. Foorest Gump adalah film Tom Hanks pertama yang saya liat. I love this actor, I adore him as I adore Johnny Depp. Di sini saya nggak mau mereview film dari seorang Oscar winning actor, Tom Hanks, cuma mau berbagi cerita perjalanan saya di US tahun lalu. Kalau pernah nonton, ingat nggak, Forrest Gump berhenti berlari di mana?Yes, di Utah, tepatnya Navajo nation Reservation Utah dengan background Monument Valley.

AndI have been there, folks !!! OMYGOD, that’s one of the most wonderful journeys ever. Another unexpected moment. Sebenarnya inti dari trip saya dan teman-teman adalah mengunjungi Monument Valley. Saya nggak nyangka akan ke Forrest Gump point waktu itu. Lumayan jauh, sih, dari monument valley. Akan tetapi, sepertinya ocehan saya di mobil dan berkat mood kordinator lagi baik-baiknya yah dikabulin juga. Nggak tau,yah, apakah dia emang mau bawa kami ke sana atau karena kasihan melihat saya merengek ke dia minta dianterin ke lokasi syuting film itu. keinginan pun terkabul, alhamdulillah. With a long deep breath, “Damn! I am here!” Who knows what life brings you, bitch? ahahhaa. Ini bukan bucket list saya, sih, but you know what, ada rasa bahagia tersendiri sudah diberi kesempatan menginjakkan kaki di tempat ini yang konon katanya adalah salah satu lokasi syuting yang paling top di dunia. Thanks to my coordinator, Paul Patterson, sudah mutar balik vannya buat ke tempat ini. You are a great old man! 😀

This is the road where Forrest Gump stops running

Speaking of Tom Hanks, nggak ada salahnya nyelipin satu foto waktu saya berlibur di LA with Tom Hanks 😛

SHAME or FOOL ?

Beberapa bulan sebelum balik ke Indonesia, saya berulang kali diberitahukan oleh kordinator, senior-senior dan orangtua angkat bahwa saya nggak akan lagi menjadi orang Indonesia sepenuhnya, begitu pula orang Amerika sepenuhnya (sounds lebay,yak). Dengan kata lain, seperti pola pikir/cara pandang, tingkah laku, bahasa, sadar atau tidak sadar akan berubah. Ibaratnya, playdough kuning sebagai Indonesia, playdough biru sebagai Amerika berbaur menjadi Hijau (saya, yang sekarang). Pernyataan itu lebih diperkuat lagi setelah mengikuti seminar “Reverse Culture Shock” atau “Re-entry” bulan April 2019 di Texas. Di sana, peserta diberitahukan bahwa akan ada banyak situasi yang akan kamu dapat saat pulang ke negara kamu yang membuat kamu akan kembali “shock” setelah tinggal di Amerika. Beberapa di antaranya adalah soal tata tertib lalu lintas, waktu (on time), bahasa, dan masih banyak lagi.

Ngomongin soal bahasa, beberapa masukan dan cerita yang saya dengar juga adalah bahasa nasional perlahan- lahan akan “terganggu” ketika sudah berada di kampung halaman. Faktornya adalah karena setiap hari, selama di US menggunakan bahasa Inggris. Meskipun tinggalnya tidak bertahun-tahun di sana, akan tetapi ada situasi saat berbicara dengan orang-orang di negara sendiri akan menjadi riweh, entah diksi yang diucapkan tidak sesuai atau campur antara Inggris dan bahasa, yang akhirnya bagi BEBERAPA orang akan terdengar sok-sokan.

Jujur, saya mengalami hal tersebut saat beberapa minggu setelah balik dari US. Waktu itu saya nongkrong bareng teman, dan kebetulan meja kafenya lagi penuh dengan sisa makanan, gelas dan piring dari pelanggan sebelumnya. Aku tuh langsung ngomong gini ” El, tolong, dong, hapus di atas meja” Serentak temanku bilang, “Ha? Hapus? sekalian revisi” jawabnya sambil tertawa. Satu contoh itu yang tidak saya sengaja, tidak mengada-ngada, beneran!. That’s why I think, the re-entry does exist.

Ada lagi satu artikel yang pernah saya baca bahwa traveling abroad presents an ideal opportunity to master a foreign language. People are often surprised to find they have difficulty returning to their native language. Nah, saya mengalami satu kejadian yang bisa dibilang, kutipan artikel di atas cukup bisa saya benarkan. Tepatnya Senin lalu, tanggal 5 Agustus, 2019 di kantor, semua staff berkumpul di lobby karena akan ada pengumuman terkait dengan pemadaman listrik (blackout) yang terjadi di Kota Tangerang dan sekitarnya. Pihak management yang notabennya adalah expats, mereka (2 orang) menyuruh saya untuk berdiri di samping mereka, sambil menerjemahkan pengumuman yang akan mereka sampaikan ke karyawan. FYI, kebetulan tidak banyak dari karyawan yang bisa berbahasa Inggris. Saya tanpa ragu berdiri di samping mereka. Kalimat pertama saya terjemahkan yah oke-oke saja, tercerna oleh semua staff. Kalimat berikutnya, langsung buyar. Buyar karena penyampaian saya yang kedengaran terbata-bata dan isi kepala saya seutuhnya tahu maksud dan arti yang disampaikan oleh expat tersebut, tapi saya terkendala cara membahasakannya. Seketika, satu expat dengan lantang berkata ” ganti ..ganti.. Saskia”. Everybody is laughing (mostly I think). Saat itu juga, saya merasa bahwa Damn!! What’s wrong with me? Mengapa kalimat yang sebenarnya tak terlalu susah itu, sulit saya terjemahin?

Akhirnya diganti dengan satu staff untuk maju ke depan menggantikan saya sebagai “penerjemah”. You know what? Saat staff ini maju, (mostly) karyawan bertepuk tangan. Dalam hati saya bergumam, “Wait what? What is the applause for? It’s not even a National Spelling Bee“.

Cerita di atas sama sekali saya tulis untuk keperluan saya sendiri, dalam artian hanya ingin pure bercerita tentang apa yang pernah saya dengar sebelum balik ke Indo dan apa yang saya rasakan setelah berada di Indo; yakni soal Reverse Culture Shock. Adapun soal budaya nyinyir +62 yang mungkin akan beranggapan bahwa “Emang nggak tahu, alesan, nggak usah bawa-bawa US…” tidak masalah, not all of my stories to be told tho. Satu yang menjadi pelajaran buat saya yaitu saya sudah cukup mengetahui satu warna budaya tempat saya bekerja itu seperti apa. Again, kejadian tersebut juga secara langsung mengajari saya untuk mengetahui how to be a good translator or interpreter.

Holi Festival 2019

Bulan Maret bisa dikatakan adalah bulan yang dinanti oleh seluruh masyarakat di India. Color festival atau disebut juga dengan Holi festival menjadi salah satu perayaan terbesar dan terfavorit di India. Perayaan ini tidak hanya diadakan di India saja, akan tetapi di beberapa penjuru negara lain (jika ada komunitas Indians, yah pasti ada acara ini). Saya pribadi senang mengikuti festival, karnaval atau culture-events seperti ini. Kebetulan, di sela-sela sibuknya sekolah, saya dan beberapa teman saya (India juga) memutuskan untuk ikut merayakan Holi festival yang diadakan oleh mahasiswa India ASU (hallah, I mean Arizona State University). Event ini di adakan di salah satu park yang lumayan luas depan kampus ASU. Sambil lempar serbuk, bilang “Happy Holi!” ke orang yang dilempari. Event ini bukan hanya dihadiri oleh orang India or International students saja, akan tetapi banyak juga American students dan bahkan ada beberapa orang yang membawa keluarganya untuk turut dalam perayaan ini. Part paling seru dari perayaan ini yah acara lempar serbuknya. Mata kelilipan sampai makan serbuk segala, beneran.

Pengunjung yang datang sepertinya sudah sangat familiar dengan event ini, sampai-sampai 95% memakai kaos putih polos. Saya berangkat jam 10 pagi dan setelah tiba di TEKAPE, pengunjung diharuskan registrasi terlebih dahulu, kemudian ngantri lagi untuk mengambil serbuk warna-warni. Speaking of serbuk warna-warni itu, konon katanya, setiap warna ada makna tersendiri. Hijau berarti kebahagiaan, merah berarti kehidupan, kuning bermakna kemakmuran, biru melambangkan cinta dan damai. Setelah dapat serbuk sekantong, semua pengunjung bisa langsung melemparkan serbuk itu ke orang lain, ke siapa aja. Pokoknya mirip main pistol air lah, tembak aja, EGP.


Bagusnya, yah, karena serbuk ini aman dan nggak berbahaya terbuat dari bahan alami dan cocok untuk kulit Anda eh. Acara berlangsung berjam-jam dan diiringi oleh lagu hits India tentunya. Abis lempar-lemparan, sesekali menyegarkan tenggorokan di salah satu stand minuman yang sudah disiapkan oleh panitia; apalagi selain Mango Lassi (jus mangga dicampur dengan yoghurt, super kental dan manis).

Berdiplomasi di Model United Nations, San Fransisco

Credit: MUNFW (MCC team)

Kalau nggak ke US, aku nggak bakal pernah tahu rasanya seperti apa sih menjadi seorang diplomat PBB. Beruntung, sebelum balik ke tanah air saya sempat berpartisipasi di konferens Model United Nations Far West (MUNFW) di San Fransisco, California. Sebelum ikut konferens, saya sudah bergabung di MUN (Model United Nations) Club di sekolah saya,Mesa Community College) selama kurang lebih 6 bulan. Model United Nations aka MUN adalah simulasi sidang PBB yang mencakup pendidikan akademik dan kompetisi yang penerapannya sama dengan sidang PBB yang asli. Pas cek di Youtube, ternyata banyak kampus-kampus di Indonesia yang mahasiswa(i)nya melakukan hal serupa. Saya mengambil kelas MUN selama satu semester dan sekaligus bergabung dengan MUN club di kampus saya. Club meeting diadakan sekali seminggu tepatnya tiap kamis malam. Advisor kami, Dr.Brian Dille, membekali kami segudang ilmu soal Model United Nations; mulai dari seluk beluk United Nations (PBB), research, agen PBB sampai dengan teknik berpidato ala-ala seorang diplomat. Bagusnya club ini adalah kita dilatih public speaking, research, diplomasi, negosiasi dan kepemimpinan. Tiap sekolah yang nantinya ikut dalam konferens akbar di San Fransisco mewakili beberapa negara di dunia. Contohnya, di sekolah saya dibagi menjadi 5 tim negara antara lain India, Brazil, Iran, Guatemala dan Ghana. Saya dan 2 murid lainnya bergabung dalam tim India. Persiapan konferens kali ini bisa dibilang cukup intensif mengingat reputasi sekolah saya sangat bagus dan tentunya segala sesuatunya dipersiapkan secara matang. Saya sebagai part of the team juga nggak mau malu-maluin nantinya di konferens. Dua pekan sebelum konferens, kami melakukan simulasi seperti menyampaikan pidato, menanggapi, bertanya atau memberikan pertanyaan kepada perwakilan delegasi. Nah, bedanya dari konferens lain, disini kita nggak asal nyerocos aja either mengajukan pertanyaan atau menanggapi delegasi negara lain. Semua ada adabnya.

MUNFW ke-69 ini membagi 7 Committee antara lain; General Assembly (GA), Third Committee, United Nations Environment Assembly (UNEA), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Human Rights Council, Security Council (SC) dan United Nations Development Programme (UNDP). Saya mendapat giliran sebagai perwakilan dari Third Committee untuk negara India. Ada tiga topik yang akan dibahas dalam Third Comittee-MUNFW ini; yaitu soal empowering women and girls, freedom of religion and belief serta the rights of older persons. Nah, kewajiban saya adalah membuat policy statements (bahan pidato) dari 3 topik tersebut dan 1 resolusi sesuai topik yang saya suka atau kuasai. Nantinya, 3 policy statements itu yang akan disampaikan di konferens.

Sebelum take off, delegasi ada sibuk membaca bahan pidato masing-masing

Singkat cerita, tiket dan semua materi deserta aturan-aturan konferens sudah dibekali di final meeting. Konferens diadakan tanggal 12-16 April di Hyatt Regency Hotel. Gilak, venuenya keren banget buat event akbar seperti ini. Hotelnya dekat dari airport dan celakanya jauh banget dari kota which is biaya uber sangat amat muaahal. But anyway, that’s totally fine. Sekitar 400-500 peserta dari beberapa universitas atau community college yang akan menunjukkan aksinya di konferens MUN ini. Agenda selama konferens sangat lama rata-rata mulai jam 8 pagi sampai 11 malam. Hari pertama ditutup jam 12 pm.

credit: MUNFW (saat open plenary)

Hari kedua konferens saya putuskan untuk memberikan pidato di tengah para American students. Kembali, guwe nggak mau malu-maluin sekolah saya, yah, jadi modal pede aja. Kegiatan ini luar biasa keren, acting like a diplomat wearing business outfit. Ngomong juga nggak sembarangan, intinya semua delegasi mesti memberi andil, solusi terhadap isu yang dibahas. Jujur yah, 2 kali memberi pidato itu butuh pede yang luar biasa karena nggak semua delegasi berani untuk berdiri menyampaikan aspirasi dari negaranya. Gugup iya, tapi nggak sampai menunjukkan ke audience bahwa I am fuckin nervous here. Intinya, buat negaramu dikenal. Mereka nggak bakal mau tahu nama kamu, tapi negara yang kamu wakili. Julid dari negara lain ada, pujian pun juga ada. Di luar konferens all of us back to normal; making friends, taking pictures, ngobrol ina inu. That’s pro and fun!

Diskusi Bahasa resolusi bersama para allies
Delegasi Brazil, Guatemala, India dan advisor kami
TEAM

At the end of the event, tibalah pengumuman yang dinanti-nanti. Untuk best resolution akhirnya jatuh ke Third Comittee. Tak disangka tak diduga, ternyata komite saya pemenangnya. Sangatluaaarrr biasa sekali loh, bisa ngalahin 6 komite lain loh. Selain itu, seluruh tim negara dari kampus saya mendapat award untuk point tertinggi hasil submit policy statements pre-conferens. Bukan hanya itu, ada beberapa award lain yang diterima dari team MUN kampus saya. Personally, bukan award yang saya kejar, secara ini kali pertama join MUN. The most important thing is cuma mau merasakan pengalaman menjadi seorang diplomat, bernegosiasi dengan negara lain dan yah, intinya mau rasain sidang PBB kaya gimana. I dunno why, I missed this already and really want to do it in another places dan menjadi perwakilan dari negara lain lagi. China,maybe?

Bersama delegasi Indonesia. We got it!