Writing is like a therapy for me. I can observe, assess and share my feelings, thoughts, memories and anything what I have been through. Because one day, yes, one day, all of them will be precious things to remember.
Author: Saskia Rajayani
I consider myself as an honest person and if I have a dream I do whatever is possible to achieve it. I'm very friendly, enthusiastic,cheerful, lively, and simple person. I love having a good time, laughing, reading novels, having coffee, cycling and doing goofy things whenever I can.
I enjoy every little things in my life, such as Wearing my muddy boots,looking at the pop-corns clouds,eating my Scorched omelet,Let my hands full of scrawl-notes and yeap I'm proud being Me ;)
I’m back! How do y’all like WFH? well, I definitely laaavvvvv it.
Alright, speaking of which, hari ini saya lagi mood nulis. Topik yang saya angkat terbilang out of date tapi tak mengapa. Kali ini mau nulis soal pengalaman merayakan hari Thanksgiving bersama keluarga angkat di Amerika. Perayaan Thanksgiving tahun lalu cukup bermakna buat saya karena keluarga besar dari hostparents saya datang dan yang paling utama adalah ini pengalaman pertama saya langsung turut merayakan salah satu momen besar di negeri Paman Sam ini. Sekedar informasi bahwa keluarga dari Ayah angkat saya berasal dari England dan dari Ibu berasal dari Amerika. Sungguh sangat kebetulan! Mengapa? karena Thanksgiving ini awalnya diperkenalkan oleh British yang bermigrasi ke benua Amerika. So, yeah, that’s relate!
Thanksgiving jatuh pada hari Kamis keempat di bulan November dan dirayakan sebagai bentuk syukur atas berkat yang diterima dari Tuhan. Di Amerika, selain hari Natal, perayaan Thanksgiving ini dijadikan sebagai libur nasional dan di sinilah semua keluarga berkumpul. Jadi sama halnya dengan kita di Indonesia, thanksgiving mirip dengan hari Lebaran.
Cooking time: yang masak 1 orang aja, yang laen nonton dan ngerecokin haha
3 dari kiri : Orangtua dan tante dari Ayah angkat saya, Emak Angkat (crown biru) dan belakang my host dad yang lagi ngambil makanan lain
Apa yang penting dari Thanksgiving? Ya, makan-makannya. Hidangan yang bervariasi memenuhi meja makan kami waktu itu. Ayah angkat saya berperan jadi main chefnya. Ada kalkun sebagai simbol utama dari Thanksgiving, salad, pie, ice cream dan beberapa masakan lainnya. Makanan, silverware dan bunga diatur sedemikian rupa di atas meja. Sebelum duduk melingkar di meja, salah satu kerabat dari Ayah angkat saya membagikan satu benda semacam ornamen gitu buat dipasang di kepala (sejenis crown). Di atas piring pun, ada 1 benda yang bentuknya mirip dengan permen. Tapi itu tidak untuk dimakan. Aduh, saya lupa itu apa tapi katanya itu adalah bentuk perayaan thanksgiving versi British. Sebelum menyantap makanan, kami semua berdoa and finally irisan besar daging kalkun itu terhidang di piring saya.
Setelah makan terus lanjut ke sesi ngobrol (masih di meja makan). Satu per satu mesti ngomong mengutarakan hal apa yang paling disyukuri dalam hidup masing-masing. Setelah semua dapat giliran bicara, kami lanjut makan dessert lalu beresin meja makan and then play Poker. Seketika Emak angkat saya menyulap meja makan menjadi meja poker. hahah
This is us (nggak kefoto semua)
Thanksgiving in the USA was an amazing moment for me. So grateful spending time with kind-hearted family. I really hope that I could see them again. AMEN!
Helloooooowww ladies, how are you guys doing? How’s school? Are you guys now working from home? Stay safe, stay healthy and don’t forget to wash your hands! Anyway, sebenarnya aku nggak tahu mau nulis apa, nggak ada bahan tulisan sama sekali. Tapi, mumpung kerjaan lagi nggak padet hari ini daaaaan kebetulan I’m on my period a.k.a “dapet”, jadi aku share pengalaman aja, yah, soal menggunakan cawan haid atau lazimnya dikenal dengan menstrual cup. Bukan kejuaraan mens , yah. I wish I knew it earlier (like 15 years ago)! I dunno how to start this but let me tell you gurls, you better switch your tampon or pad to this beautiful holy menstrual cup. I bet, 100% you’re gonna love it as I DO! Jadi gurls, pertama kali saya mendengar menstrual cup ini waktu saya di US. Jujur waktu itu belum kepikiran untuk membeli dan mengenakannya. Entah kenapa menginjak usia 30 tahun, I need to change something in my life. Setelah penuh pertimbangan dan research, I decide to use menstrual cup. Belinya nggak susah, tersedia di Tokped dan Shopee. Boleh dibilang harganya lumayan pricey, sih, tapi worth it kok. Saat ini saya memakai 2 jenis cup yaitu merk Organic Cup dan Blossom Cup. Mungkin diantara kalian udah ada yang pernah dengar soal menstrual cup atau malah sudah memakainya. Tapi for those who do not know about this, pasti kalian penasaran, gimana, sih, rasanya pakai mens cup? Cara masukinnya gimana? Sakit nggak? Emang selaput dara (hymen) nggak sobek, amankah untuk perawan? Well ladies, calm down! Let me tell you how does it feel. Are you ready?
Berdasarkan pengalaman saya, rasanya saat memakai menscup ini seperti iklan spring bed yang modelnya baru bangun tidur dengan paras senyum, lega, nyaman dan happy. Nah, seperti itu lah rasanya. It’s super duper comfy. Malah nggak berasa sama sekali, loh.
Gimana cara masukinnya? Tentunya dimasukkan ke lubang Vagina. Beda, loh, lubang uretra (untuk pipis) dan miss V ini. Cara untuk memasukkannya cukup bervariasi tergantung dari personal masing-masing. Untuk melipatnya (folding) sendiri, ada beberapa metode. Diantaranya ada yang disebut dengan C-fold, 7 fold, U-fold, S-Fold, punchdown fold, origami fold, labia fold. Begitupun dengan posisi badan kita untuk memasukkan si cawan silikon ini, relatif bervariasi. Bisa sambil jongkok, berdiri sambil menaikkan 1 kaki di kloset, berbaring di lantai sambil melebarkan kedua kaki (ngangkang). Yang jelas, RILEKS. Kalau aku sendiri yah, awalnya nervous dan butuh kurang lebih 4 menit untuk masuk sempurna dibantu dengan iringan Mozart hihihi. Saya coba C-fold tapi nggak berhasil sama sekali. Saya berdiri sambil menaikkan satu kaki di kloset, nggak berhasil juga. Akhirnya mengubah variasi lipatan dan saat memasukkan untuk kedua kalinya, butuh 3 detik saja. I nailed it. Teknik lipatan yang saya gunakan sampai sekarang adalah Punchdown fold dengan posisi jongkok. Kembali lagi, find your best way to insert it. Untuk melihat info lebih lanjut cara memasukkan dan melepaskan mens cup ini bisa di browsing aja. Mulai dari harga, review, cara membersihkan sampai dengan pembahasan procons keperawanan juga ada.
Pic from Pinterest. Gambar yang warna PINK, it’s called punchdown fold and it’s my fave.
Manfaat yang saya rasakan menggunakan menscup antara lain;
Nggak ada bau sama sekali. Memakai pembalut biasanya daerah intim jadi bau, lembab, berasa becek dan nggak nyaman. Buat kalian yang merasa tersiksa karena alergi dengan pembalut, cup ini jadi pilihan yang tepat buat kamu.
Tahan lama. Produk yang saya pakai bisa bertahan lama hingga 10 tahun, loh.
Menampung lebih banyak dari pembalut biasa. Bisa sampai 40ml.
Nggak repot bolak balik toilet untuk ganti pembalut. Menscup ini bisa dipakai sampai 12 jam.
Lebih hemat. Jadi bayangin, sehari butuh 3 pembalut, untuk periode 1 bulan (masa haid 6 hari misalnya) jadi 18 pembalut. Setahun total yang dipakai 216 pembalut. 10 tahun = 2,160 piece. 1 pack (isi 10) harganya Rp. 4,800. Jadi biaya untuk sedekade adalah Rp. 1,036,800. Sedangkan 1 harga cup berkisar Rp.400,000 (malah ada yang harganya kurang dari 200ribu), that’s a steal, ladies! Jauh lebih murah, kan? (Dah bener g,sih?) #gubrak
Eco-friendly. Oh mother Earth, I am so sorry for wasting thousand pads in my whole life. Beneran, jadi kita turut berkontribusi untuk menjaga lingkungan kalau pakai menscup ini. FYI, bekas pembalut yang kita buang, butuh 500-800 tahun untuk terurai. That’s so terrible, isn’t it?
Bisa dipakai saat renang juga, jogging dan aktifitas outdoor lainnya. Jadi nggak perlu khawatir bocor dan segala macam.
Yang paling paling paling menyenangkan adalah saya tetap bisa memakai undies favorit saya meskipun dalam keadaan haid. Nggak ada lagi tuh namanya panties khusus menstruasi
Pic from Pinterest
So, there you go, guys. Tentu bukan hanya benefitnya yang saya rasakan. Semua ada plus minusnya, tapi berdasarkan pengalaman saya, memang kadang si V kurang bersahabat saat mau masukin si mens cupnya. But it doesn’t a big deal. Cukup tarik nafas, rileks, putar lagu Mozart kalo perlu (or your fave songs). Selain itu, mesti meluangkan waktu untuk bener-bener si cupnya itu steril dan bersih. Kalau pembalut, habis pakai tinggal buang aja, kan. But overall, I really like this. Nggak perlu khawatir dan takut, saya juga deg-degan waktu pertama kali nyoba, lebih membekali pengetahuan aja dulu sampai akhirnya sudah yakin bener, baru deh beli. Percaya deh ketakutan-ketakutan di dalam pikiran kita itu terlalu berlebihan. TRUST ME! Bukannya memaksa untuk beralih,yah, tulisan ini hanya secuil pengalaman saya memakai menscup selama kurang lebih 6 bulan dengan beberapa manfaat yang bener-bener saya rasakan. Back to you, ladies! 🙂
Be Brave. Take risks. Nothing can substitute experience.
– Paulo Coelho –
Sepertinya quote dari salah satu penulis favorit saya di atas cukup tepat menggambarkan perjalanan solo saya di Bagan, Myanmar. Sampai sekarang pun saya masih nyengir dan geleng kepala tiap inget apa yang saya lakuin di sana. Layaknya traveler lain yang menghabiskan harinya dengan pemandangan ribuan stupa, kuil, biara dan benteng di Bagan, ternyata ada segelintir hikmah yang luar biasa yang saya rasain, for real.
Tentu Bagan bukanlah destinasi impian saya, akan tetapi tempat ini lah yang membuat saya menjadi pribadi yang jauh lebih berani dari yang saya duga, lebih independent, lebih sabar dan pastinya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Boleh dikatakan, ini adalah perjalanan solo terbaik (so far) dan tak terlupakan di hidup saya.
Berikut highlights perjalanan saya di salah satu situs warisan dunia ini;
Auto pintar bawa motor. Jam 5 subuh saya tiba di terminal Bagan dan naik taxi ke penginapan. Waktu itu lagi hujan dan niat saya liat sunrise dan hot air baloon masih semangat-semangatnya. Pagi buta saya ikut sama yang punya guesthouse buat ngecek apakah pagi ini ada balon udara atau nggak. Pas tiba di area balon udara, si Bapaknya bertanya ke salah satu orang dan dia kemudian mengiyakan bahwa pagi ini ada balon udara. OK! thank you so much. Akhirnya puter balik ke penginapan. Nah, setelah berbincang-bincang sama 1 staff dan si Bapak ini, akhirnya mau nggak mau aku nyewa e-bike. Motor elektrik. Kami bertiga menuju parkiran (depan guesthouse) dan staffnya ngenalin si e-bikenya (ini rem, lampu, gas, dll). Dalam hati, mampus! Aku nggak pernah bawa ginian apalagi di jalan raya. Tapi entah mengapa, saya mengiyakan saja, act like a pro dan pas mulai gas eh …. hampir jatoh. Jalan masih gelap dan hujan sudah mulai redah. Awalnya salah jalur soalnya aku ngambil kiri, duduk pun juga masih kaku bener. Pokoknya kedua tangan saya sampe nggak ngusap muka yang udah basah karena air hujan. Nah, pas sampai di titik lokasi sunrise (sekitar 20 menit dari guesthouse), mau turun dari motor eh malah kegas, hampir nabrak turis dan diliatin orang. Aku minta maaf dan kasih tau turis itu that this is my first time riding bike. Tiba di lokasi, lah, kog turis-turis dah pada balik semua, yah? Aku dah punya firasat wah, jangan-jangan nggak jadi. Beneran, nggak ada balon udara alias failed. Yah, mau gimana lagi. Anyway, ngomong-ngomong soal bawa motor, alhamdulillah lama kelamaan dah terbiasa, mulai terkontrol dan speed lebih kenceng. Pokoknya dalam 2 hari udah ratusan kilometer deh keliling Bagan bareng e-bike ini. *songong
Alone in the darkness. Hari pertama gagal liat balon udara. Keesokan paginya, aku bangun jam 4:40, shalat subuh dan siap-siap untuk liat sunrise dan balon udara. Cuaca ok. Saya kemudian bergegas ngambil e-bike dan siap meluncur ke salah satu tempel yang ternyata sangat jauh dari penginapan. Kata staff guest house yang jaga sebelum saya pergi “Jangan lewat jalur ini, banyak pohon. Lewat sini saja.” Trus aku iyakan. Aku lewat sesuai jalur yang disarankan tapi nggak cukup 2 menit, aku muter balik dan ngikutin Google Map. Ternyata eh ternyata, benar saja kata staff tadi, saya berada di antah-berantah. Sumpah, jalan yang saya lewati gelap total, hanya ada lampu e-bike saya yang menerangi, semua lampu jalan udah pada mati. Dalam hati, OMG! this is like a crime scene. Jujur aku sempet takut juga secara gw sendiri ng ada orang sama sekali, nggak ada kendaraan yang melintas. Udah nggak mau bayangin yang nggak-nggak. Aku cuma bilang ke diri gw “bentar lagi terang, bentar lagi terang”. Saya akui, ini adalah salah satu keberanian saya yang nggak tau datang dari mana.
Lost in a sacred place. Ini kelanjutan dari mengendarai motor di pagi buta. Karena kepolosan saya, saya masuk di salah satu temple yang keliatannya sama dengan spot di artikel yang saya baca untuk ngeliat sunrise dan balon udara. Sebenarnya di Google Map emang belum sampai di tujuan, sih, tapi I dunno tiba-tiba mau belok saja. Satu tempel yang saya nggak tau namanya, lokasi sekitar 100 meter dari jalan raya. Aku masuk ke gerbang temple itu dan di situ aku baru ketakutan tapi berusaha menenangkan diri. Dalam temple itu, ada 1 pohon beringin gede di tengah dan again nggak ada siapa-siapa. Masih gelap, loh, yah. Pernah nggak, sih, kalian berada di satu kondisi yang pengen lari cepet tapi nggak bisa? Aku udah pengen cepet-cepet keluar dari sana tapi like I was freezing. Bener-bener mirip reality show horor gitu, suer dah.
Foto di kuburan. Aku kasih tau nih, keuntungannya jalan sendiri dan bawa kendaraan sendiri adalah kita bisa berhenti kapan pun dan di mana pun. Hari terakhir, aku masih berjibaku dengan panorama pagoda, stupa dan kuil di Bagan. Intinya 2 hari di sini saja nggak cukup explore semua tempat. Ditengah perjalanan, eh tiba-tiba aku liat ada satu spot menarik . Ada ilalang dan stupanya cantik, padat dan nggak ada orang. Langsung markir dong, keluarin tripod dan pose sambil senyum tanpa alasan hahaha. Pas udah ngambil foto, aku jalan muterin stupa, eh ternyata eh ternyata itu kuburan cuk. *Auto jalan cepat, Assalamualaikum.
Nyusup di ladang jagung. Moment terbaik untuk self-reflection saya temukan di sini, yeap, bekas ladang jagungnya orang. Pagi hari yang cerah, setelah saya berlari nyari spot lain untuk menikmati balon udara. No kidding, this one is one of the best spots. Sendiri sambil memandang balon-balon udara yang melintas tepat di atas saya. Di sana saya berdiam sejenak dan refresh my mind again what I have been through this year. Pokoknya, that was the best morning ever in 2019.
Demikianlah sekelumit perjalanan solo saya di Bagan. Tentunya masih banyak bahan cerita yang saya punya. Saya rasa nggak perlu saya utarakan semua di sini, mari bersua dan bercengkrama ditemani dengan secangkir kopi.
16 Oktober 2019, tiket Jakarta-Yangon-Jakarta issued. Yey! Destinasi yang cukup tepat buat saya untuk me time di akhir tahun. Myanmar menjadi tujuan solo trip saya kali ini karena harga tiket ke Nepal tenyata jauh lebih mahal. Jujur, saya bener-bener nggak tahu mau ngapain di Myanmar nantinya. Sebagai karyawan baru, saya juga belum dapat jatah cuti. Dengan modal yakin doang kalau boss pasti bakal ngasih izin.
Abrakadabra!Tanggal 20 December, cuti saya diapproved. Seneng banget. Sehari sebelum berangkat, semua dokumen (itinerary dari 25-30 Dec, tiket pp, voucher penginapan, tiket bus) saya print sebagai back-up an.
Singkat cerita, pesawat mendarat di Yangon International Airport tepat pukul 7:55 pagi. Tidak ada drama di migrasi dan cap izin masuk udah di passport. Untuk WNI, masuk ke Myanmar gratis selama 14 hari alias bebas Visa. Pagi-pagi badan udah seger abis tidur dan mandi di KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Oh iya, aku transit di KL selama 7 jam. Ini nih yang aku suka dari KLIA, ada shower roomnya, ada area untuk tidur bagi penumpang transit dan paling penting adalah internetnya kenceng dan nggak pelit kaya’ di Soetta dan Yangon airport. Sebelum keluar dari bandara, saya tuker uang Dollar ke Kyat (mata uang Myanmar) dan beli sim card dengan internet 2 GB seharga 4000 kyat atau Rp.38.000. FYI, sebelum saya ke sini, saya sempetin banyak membaca artikel soal tips ke Myanmar, what to do, dll. Nah, tuker uang dan beli kartu ini juga hasil membaca pengalaman traveler sebelumnya.
Nggak sampai di situ, saya jalan kaki dari bandara ke halte bus umum karena hasil bacaan juga. Dasar mau hemat, kan, jadinya mending naik bus ke kota daripada naik taxi dari bandara. Everyone knows that is fucking expensive. Destinasi saya adalah ke penginapan soalnya mau titip backpack dan istirahat bentar. Yang saya ingat dari artikel yang pernah saya baca, bus kuning no. 37 adalah bus yang tepat untuk ke kota. Nah, sebelum keluar dari gate, saya bertanya sama petugas bandara jalan keluar bandara kemana. Kalau diliat dari tampang, sih, dia bisa bahasa Inggris, tapi ternyata zonk. Dia cuma nunjuk ” ini jalan keluar gate”. Literally dari pintu kaca otomatis ke jalan. Yah kalau itu juga saya tau, Pak. Setelah keluar dari pintu gate kedatangan, saya bergumam dalam hati, “belok kanan atau belok kiri nih?” Because I trust my gut feeling, saya belok kanan. Saya mulai menyeberang untuk jalan di trotoar. Waktu itu saya nggak pakai Google Map karena rute bus di Myanmar nggak tercantum disitu. Ternyata cukup jauh juga jalan keluar bandara. Pas di jalan, aku ngecek wa. Eh, ada 1 missedcall dari adik mantan saya. Ya udah daripada bengong di jalan mending gw telpon balik (vc). Nggak lama setelah kami ngobrol akhirnya nemu tugu dengan tulisan “Welcome to Yangon”. Dalam hati, YES! Pertanyaannya, di manakah halte bus 37 itu berada? Yang bikin saya pusing karena saya berada di perlimaan cuk. Mampus! Again, gut feeling “belok kanan,Saskia!” Saya nyebrang dan eittss baru nyadar kalau pengemudi di sini menggunakan lajur kanan saat berkendara. Dalam hati, okay….now I know. Sambil jalan, eh, bus no.37 nongol, wah, pasti haltenya dah nggak jauh dari sini. Alhamdulillah, akhirnya nemu haltenya dan busnya juga kebetulan datang. Saya naik, bayar 200 kyat alias Rp. 1,800 ke town (Sule Pagoda). Bayarnya mesti uang pas dan masukin di kotak. Itu modal baca juga, yah, bukan nanya karena percuma. You know what, yang paling ngeselin adalah di tengah-tengah perjalanan, aku liat ada shuttle bus bandara tepat di depan bus yang saya naiki dan di belakang shuttle bus itu tertulis ” AIRPORT- SULE PAGODA”. Dalam hati, TAIIIKKKKK bener! haha
Sekitar 35 menit perjalanan, alhamdulillah saya turun di depan Sule Pagoda (ini salah satu spot populer di Yangon). Kemudian saya lanjutkan berjalan kaki ke penginapan. Cek di Google Map, deket, cuma 14 menit. Nama penginapannya adalah Backpaker Hostel, bayar cuma Rp. 79.000, bunkbeds (pilih yang khusus cewe’). Pesen di Booking.com. Rekomended banget, staffnya bisa bahasa Inggris, dikasih minum jus/kopi/ teh meskipun belum waktunya check in, ada lokernya dan internetnya MANTAP abis.
Nggak lama berselang, check in, baringan bentar dan mandi. Setelah itu saya memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Sule Pagoda dan rencana juga ingin mengunjungi kuil paling terkenal di Myanmar, Shwedagon Pagoda. Waktu itu menunjukkan pukul 2:30 siang dan jam 7 malam saya sudah harus berada di Terminal Bus Aung Mingalar untuk melanjutkan perjalanan ke Bagan. Setelah muter-muter di sekitaran Sule Pagoda, saya putuskan untuk naik bus biar bisa liat lebih, kaya gimana, sih, kota yang dulunya adalah ibukota Myanmar. Saya putuskan untuk naik bus kuning no.36 dan dapat tempat duduk. Nice. Ternyata di dalam kota ini aku nggak liat ada motor yang lalu lalang loh. Hanya mobil, bus dan pejalan kaki. Okey..okey… saya juga nggak mau tau kenapa. Yang paling nyata terlihat hanyalah penduduk lokal (laki-laki dan wanita) yang mengenakan sarung (Longyi dalam bahasa Myanmar) dan memakai Thanaka semacam bedak dingin. Duduk di bus pun bentar doang soalnya kursi saya adalah priority seat (untuk biksu, orang tua, ibu dan anak kecil, orang hamil, dan disabled).
Sumpah, penumpang makin banyak, bus udah sesak banget. Semakin lama saya sadar, kog ini malah ke desa-desa, yah. Mau cek Google Map, ngga bisa karena lagi berdiri. Udah sekitar 50 menitan di bus, saya panik kog nggak ada tanda-tanda kota gitu, kan. Wah, pas saya dapet kursi langsung deh saya cek Google Map. Nyari My location- Sule Pagoda. Fuck! 1 jam 10 menit. Wah kog jauh banget. Nunggu bus ini muter, tapi nggak muter-muter malah menjauh. Aku browsing di Safari, ngetik “Bus no 36. route”. EngingEng PARAH! 119 stops. Whatdef*. Satu per satu penumpang turun dan bus sudah mulai kosong. Rute di map harusnya muter eh malah menjauh dari rute. Wah, tambah PANIK sayanya. Di dalam bus hanya ada 2 orang, supir dan saya. Ya Tuhan, saya ke mana ini? Nggak mungkin dong turun dan pesen taxi dari titik itu, bisa bangkrut saya. Tiba-tiba bus masuk ke hutan-hutan gitu dan berhenti sekitar 300m dari jalan raya. Ternyata di sana tempat berhentinya bus khusus no. 36 doang. Aku nggak turun, karena mikirnya pasti busnya bakal muter lagi. Eh, tau-tau supirnya liat saya sepertinya dia bilang “Ngapain masih di sini? turun!”. Aku nyamperin dia dan bilang aku mau kembali ke Sule Pagoda. Saya tunjukin gambar ke dia dan dia balas pake bahasa Myanmar dan Pak Supirnya bilang no..no. Lalu dia ngasih tau temennya (sepertinya) bilang gini “Ini nih, mau ke Sule, kamu kasih tau cewe ini kalau jangan naik bus ini.”. Saya pun turun dari bus dan kata 1 cowo ( mungkin supir bus juga) “Oh yang ke Sule, yang sana, bus nya dah mau jalan” sambil nunjuk. Aku panik dong, yang mana? soalnya semuanya bus 36. Waduh, cek per cek pas aku liat 1 bus yang ada drivernya, aku langsung lari dan lambaiin tangan. Sumpah, deh, nggak kebayang kalau saya ketinggalan bus, bisa buyar rencana. Waktu menunjukkan jam 4:30 perjalanan maksimal satu setengah jam. Pas naik di bus, saya sama sekali nggak nikmatin perjalanan saya. Aku sengaja milih kursi di barisan belakang biar nggak berbagi sama orang hahaha soalnya perjalanan sangat panjang. Sambil menenangkan diri, aku ngecek Google Map rute dari Backpacker hostel ke Bus Terminal Aung Mingalar. Okey, 59 menit. Estimasi tiba di Sule Pagoda pukul 5:50 sore dan lanjut jalan kaki 14 menit (kalo lari bisa 7 menit) ke penginapan.
Tepat perkiraan, turun dari bus saya langsung lari ke penginapan. Yes, 8 menit tiba di sana (lari dan jalan) dan diselah-selah saya berlari, saya udah pesen grab biar nanti tiba di penginapan, grabnya juga udah datang. Saya mesti di terminal jam 7. Bus dari Yangon-Bagan berangkat jam 8. Di tiket sudah dibilangin kalau sejam sebelum berangkat udah mesti di pol. Yah, karena saya nggak tau sistem transportasi (khusus Bus) di sana jadi saya mesti datang tepat waktu. Aku tiba di terminal jam 7:10 malam waktu itu. Namanya juga nggak mau nanggung resiko, dah dibilangin sejam harus ada di pol, yah berarti mesti nurut. Pas tiba, saya check in di counter JJ Express, nyetor passpor dan tiket. Saya dikasih stiker (nomor kursi dan nomor bus) untuk dilekatkan di baju. Now what? Waktu yang tersisa saya manfaatkan untuk nyari makan di sekitar terminal karena udah kelaperan. Abis makan kembali ke pol, naik di bus dan jam 8:20 malam bus baru berangkat. Inginku berkata kasar, ya Allah. Yah, tarik nafas aja lah. Nggak masalah meskipun rencana berubah, Shewedagon Pagoda gagal. FYI, aku naik JJ Express (hasil bacaan juga). Busnya ok, ada cemilan, selimut dan seatnya lumayan empuk. Ada screen boleh nonton, denger lagu, internetan dan baca buku. Air Asia mah kalah ahaha. Bayarnya $19 untuk turis dan perjalanan sekitar 10 jam. Well, goodnight and see you all in Bagan!
Noh, jalan kaki dari bawah jembatan sana (dan masih lanjut jalan lagi)
Salah satu resolusi saya di tahun ini adalah not spending my money (too) much on clothes. Karena saya adalah seorang karyawan, salah satu cara menyiasati itu adalah memakai 1 jenis pakaian saja. Dalam hal ini, saya memilih mengenakan satu atasan yang sama ke kantor dari Senin sampai Jum’at. Sementara untuk celananya, saya masih tetap mengenakan celana panjang yang saya punya sebelumnya.
Di tulisan sebelumnya, aku sempet bilang bakal mulai pakai pakaian yang sama per 2 January, akan tetapi kondisi badan saya tidak memungkinkan ke kantor, jadi akhirnya pakai di hari berikutnya. Sebelum liburan, saya sempatkan ngemall untuk mencari pakaian apa yang akan saya kenakan buat kerja nanti. Setelah cek dari satu outlet ke outlet lain, akhirnya saya menemukan pilihan saya. Pilihan saya jatuh pada kemeja hitam polos lengan panjang yang saya beli di The Executive. Bahannya adem dan nggak perlu disetrika lagi. Waktu itu aku beli 2 pieces karena stok waktu itu sisa 2. Jadi keesokan harinya, saya minta tolong sama Pak Eris (driver bos saya) yang kebetulan mau ke Pondok Indah waktu itu, jadinya nitip untuk dibeliin di Mall Gancit. Alhamdulillah ketemu dan sekarang udah punya 3 kemeja yang sama. Saya rasa itu juga udah cukup untuk dipakai selama hari kerja. Kalau 1 di cuci, dua lainnya kan masih ada.
Kenapa saya memilih untuk memakai satu jenis atasan saja? To be honest, saya lakuin ini bukan karena mau mencari sensasi atau mau di cap berbeda. It does not mean I do not care about style and fashion as well. Alasan saya karena selain faktor nggak mau banyak habisin uang di pakaian, saya juga sudah bosan tiap pagi memikirkan baju apa yang akan saya kenakan ke kantor. Yes, it’s called as decision fatigue. Sebelumnya, pagi hari saya cukup tersita dengan bisikan “mau pake yang mana, yah?”. Entah kalian merasakan hal serupa atau nggak, I do not know. Fortunately, I believe the phrase said that “less is more”. Idealnya seperti ini, sedikit belanja (pakaian misalnya), alhasil lebih banyak uang yang bisa ditabung atau dipakai untuk keperluan lain. Contoh, uang buat beli 1 kemeja Uniqlo bisa saya pakai buat beli 500ml avocado oil. Selain itu, rak yang tadinya full dengan pakaian jadinya bakal lebih spacious dan bisa saya manfaatin sebagai storage untuk barang lain. Yah, betul, boleh dibilang pendekatannya sama dengan gaya minimalis.
Lantas baju-baju yang kemaren dikemanakan? Sebelumnya, saya berencana nyumbangin beberapa pakaian saya di panti asuhan terdekat. Akan tetapi, semalam pas maen IG, saya nemu broadcast Tangerang Bersedekah. Pagi tadi sebelum ke kantor saya udah pack pakaian dan rencananya hari ini saya akan bawa ke gedung balaikota Tangerang, salah satu posko dapur umum untuk korban banjir. Pakaian yang saya sumbangin tidak seberapa jumlahnya, tapi semoga berkah dan berguna bagi mereka yang membutuhkan. Aamiin